Mei 16, 2009

Dari Antologi ; Keroncong Kematian

Risalah Keluarga

Penyair ada disiang ada dimalam bermalam dikegelapan
Tak mencari siapa setelah sepotong senja tenggelam dipelupuk,
Sehabis makan malam dalam sisa usia yang perlahan merayap
Antara kuah sayur, semur jengkol, goreng ayam, telor asin
Sehelai tisu dan rumah yang kesepian
Diselang tawa yang mengiris, sesekali memang musti ikhlas pada kenyataan, menertawakan diri sendiri lantas melepas kepenatan
Sambil membayangkan tamasya ke eropa
Alia, aku tak mengerti arti sebuah cincin, cinta atau rumah tangga yang rusuh
Sama tak mengerti encok atau reumatik, kerna memang kita tak bisa menolak menjadi tua,
Tapi dihadapanmu aku ini bocah lanang yang biasa manja dipelukan ibunya
Yang terusir lalu sendiri pergi tanpa sebuah peta,
Tiba-tiba aku ada dalam rumahmu, menemukan kebisuan diantara lampu neon, pohon nangka, lembaran koran yang basi
Seperti menemukan sebuah buku yang belum tuntas dibaca
Tak bisa menebak akhir dari kisah dramatis yang absurd ini,

Penyair tak ada disiang tak ada dimalam, ia hadir ditengah kerusuhan demonstran yang kecewa pada pemerintah, tapi ada yang musti bilang terima kasih, Bunda, untuk makan malamnya, sebuah cincin dan curhat yang belum selesai,
Biar dipenghujung malam yang lain bintang-bintang itu berguguran, kerna akulah tangan yang melukiskan lengkung alismu dalam sehelai sejarah.

Juni, 2008


Yang berdarah

Ada yang berbisik perlahan
Nyelusup dalam sanubariku
Menyalakan api
Mengepung cakrawala
Mebakar langit
Orang bergerombol
Matanya menyala seperti srigala
Yang sembunyi dikegelapan
Bulan sabit
Kapak dan bintang
Aroma sapana yang terbakar
Sendirian aku disini
Dengan debar jantung
Dalam sekali hujaman
Dua, tiga kali
Aku terkulai lemas
Tuhan telah terbunuh dalam tikaman
Tanganku
Tapi darah muncrat dalam dadaku
Yang lemah terkapar
Dibawah rembulan yang pucat
Terimalah ruhku, tuhan
Kerna matiku untukmu.

Juni, 2008.

JUNI,

Sebentar aku berada di puncak
Tak ada sumpah serapah, caci maki
Atau kebencian
Akhirnya terkulai layu
Seperti berahi yang terbunuh di ranjang
Mengapa harus sampai kemari
Aku hampir menggerutu
Sambil terus menyulam kata
Menjelang dini hari
Ada yang mencakar-cakar dadaku
Meminta sehelai waktu
Memaksa mulut yang bisu
Aku terasing disini
Kelebat bayang-bayang
Yang sendiri berbisik di sunyi
Mengapa melambaikan tangan
Padahal belum mau berpisah
Kebersamaan yang sebentar, katamu
Karena tanganmu tanganku
Tak pernah menggapai berpegangan
Menuju kubur masing-masing
Saling pandang dan aku merasa
Menjadi kepingan gelas yang pecah
Ada luka, darah dan berkas kecupan
Yang mengiris di hati
Biar sama kita mengerti yang maha pana
Meski dimanakah hari yang kekal
Aku dengar musikmu
Aku menyentuh debar jantungnya
Aku mengecap rasa anggurya tapi benang
Yang terus terulur
Tak jua mempertemukan dua daratan
Dalam senafas kehidupan
Seperti buah apel yang sampai di mulutmu
Dua anak panah yang dilepas
Bersaranglah dalam jantungku
Biar kumengerti kematian itu, cinta pada
Yang maha pana.

Juni, 2008.

SATU JULI

Aku menemukan sehalaman hari yang kosog
Membaca arah angin yang kusut di daun kertas
Apakah rindu ini telah sampai padamu
Seperti kuncup senja di ujung dermaga
Padahal kalam itu telah aku tulis
Dibacakan musim yang gelisah, daunan yang gugur
Disapu angin yang kasmaran
Meniupkan firman yang nakal ke telingamu
Yang selalu bertemu di ranjang sunyi
Tapi di danau ini angsa-angsa itu tak ada lagi
Sepasang bangau telah pergi mengembara
Sementara aku membuat sarang di reranting malam
Berharap rembulan singgah disini,
Dengan sekuntum puisi pada merah bibirnya
Hai yang merekah merona wajahmu
Yang berdiri tegar sepanjang badai
Pagi yang menyala membakar nafasku
Menyisakan abu yang tenggelam ditelan ombak
Padahal aku belum sampai ke rumahmu
Semadi dalam kuil yang kesepian
Dan di pintunya yang bisu aku merasa sebagai buddha
Yang ditinggal tuhannya
Terasing dikeramaian kota, terperangkap gedung-gedung tinggi, terusir peradaban yang angkuh
Tapi kristus tidak datang kemari,
Ia mengayuh sampan mencari ulu sungai yang masuk tenggorokanku
Sirami akar-akar yang kering
Biarkan aku membangunkan kematian, membisikan puisi
Yang direbus pagi dalam sarapan yang tergesa.

Juli, 2008.




The Secret

Siapa yang bermain bayangan
Sebalik silhoet yang dibentang
Ada yang melempar batu, memukulkan pentungan
Mengangkat golok
Yang berteriak menghujat
Kepalan tinjupun dihantamkan
Membentur persidangan yang dusta
Siapa yang mengail di air keruh
Menyusupkan kepentingan sendiri di ditengah
Huru-hara kekerasan
Mengatasnamakan tuhan, agama, sorga dan kebenaran
Padahal tuhan tengah bermain dadu, melempar pancing
Dan menikmati sunset sambil memetik puisi
dari setangkai senja

Siapa yang menumpahkan darah
Mengecat tembok perbedaan dengan warna merah
Atas nama jihad membunuh sesama
Padahal tuhan tak pernah tersinggung atau terhina oleh makhluknya
Tapi ada yang menghakimi sesama dengan kebodohannya
Siapa yang bermain bayangan dikegelapan saat cahaya itu mati dalam mataku.

Juni, 2008.

Selamat Jalan

Terlempar dari galaksi bumi
Terdampar di bawah bentangan cakrawala
Aku sujud dihadapanmu
Wahai yang maha mendengar
Inilah sajak yang tak berdaya
Aku membaca isarat angin telah sampai padamu
Tapi tak kudengar lagi suaramu yang bergema di udara
Kita seperti sepasang merpati yang terbang mencari hinggapan
Di paris dimenara tinggi diantara sungai Sein yang terbelah
Sayap-sayap yang patah ini berkelepak juga merangkaki tembok kota
Sudah sampai disini, dipusaran waktu yang mana
Musti kusempurnakan kalimat hingga sampai padamu
Kerna kaulah yang telah melangkahkan kaki disuatu malam, berjalan dari rumahmu mencari rumah yang lainnya, lalu kupanjati hakikatmu tapi betapa samar ma’rifatku untuk kumaknai jalanmu
Kemarilah angin yang membawa kabar,
Telah kau sempurnakan jalan ini, sempurna juga namamu dalam kalimat yang disulam setiap waktu
Jalan yang senantiasa dilalui setiap jiwa untuk pulang ke rumahnya
Telah kau sempurnakan jalan ini, tapi aku belum mau pulang,
Setelah berulang kali tersesat disini, diantara gemerlap lampu dan langit yang sepi
Selamat jalan, kerna akupun musti pulang, setelah sempurna warna langit disemaikan hari senja

Juni, 2008.

The Dark

Betapa sunyi jalanmu
Musti sendiri melewatinya
Disini tak ada lagi suara-suara itu
Sebuah pesta atau kenduri pernikahan
Kerna rumah yang kumiliki bukan rumahku lagi
Mobil yang kupakai tak pernah bisa sampai padamu
Pakaian dibadan tak memberi kehormatan
Ini raga akhirnya ditinggal,
Padahal pesta belum selesai, masih meminta dansa, ludah kelapa dan desah malam yang kelam
Betapa sunyi jalanmu,
Setelah semuanya harus ditinggalkan, sorak-sorai pesta bola, pesta demokrasi, pesta kekuasaan yang perlahan tenggelam senyap sebalik tirai jendela,
Dalam langkah yang ragu disebuah jalan yang tak memberi pilihan untuk kembali
Sendiri musti kulewatkan jalanmu,
Padahal aku tengah membangun mimpi-mimpi itu seperti manyar yang membuat sarang, mendirikan peradaban dalam perkemahan yang singkat
Menghadapi peperangan, mempertahankan diri dari bahaya takdir,
Tapi kemenangan itu tak ada artinya, segala harta benda, semua yang telah digapai musti ditinggalkan
Betapa sunyi jalanmu, aku merasa berada dalam kuil tua
Sebagai seorang gelandangan yang mencari perlindungan, menggigil kedinginan
Dan suaramu teramat samar
Ada yang slalu merindukanmu
Tapi jalan ini sepertinya tak berujung
Musti dipersimpangan mana bisa bertemu
Dikegelapan atau diterik mahsyar atau dalam sesak kubur yang tak menyediakan pinjaman kredit
Betapa sunyi jalanmu,
Setelah bosan menguak dunia gaduh
Menabuh musik kehidupan
Singa jantanpun rubuh, air matanya memadamkan api buasnya
Riwayat yang bertahun disulam tinggal abu tenggelam disungaimu
Setelah setiap pintu terkunci rapat, mustinya aku telah sampai padamu.

Juli, 2008.

Malam Bulan Juli

Disebuah halaman rumah tua, diantara redupnya lampu neon
Pada malam yang beranjak puisi itu termangu dan sendiri
Bercakap dengan taman yang kedinginan
Sementara tuan rumah yang sedang pergi tamasya hanya meninggalkan sisa kerja di jendela
- Akhir pekan yang menyenangkan, tapi reumatik ini tak pernah
mau pergi, seperti mengeluh.
Aku hanya numpang sebentar, bisik puisi
Biar sejenak menggantikan taman yang mau mandi dan makan malam,

Di taman ini puisi seperti menemukan dirinya sendiri
Setelah lelah mengembara, terbang dari pohon yang satu
ke pohon yang lainnya
Rasa rindukah yang ditiupkan angin laut atau kegelisahan ini
adalah kepak elang yang kehilangan penantiannya
Tapi taman yang pendiam ini jadi membisu
Ada kerlip bintang di langit
Ada wajah muram di cakrawala
Ada yang menaburkan bunga dalam duka
Ada yang menginginkan puisi itu lekas pergi dari taman
Ada yang diam-diam mebacanya lantas tidur sambil mengunyah dunia, ada yang bilang orang gila itu lagi apa?
Menunggu tuhan di taman orang!

Demikian kisah seorang penyair yang menangis di taman
Berharap kemarau segera usai
Setelah awan yang bergumpal di kepalanya saling bentur, suara petir dan angin yang berlari ke selatan
Tapi sebentar aku ingin disini;
Sebagi taman yang mencari bunga di bawah purnama
Biarkan tahun yang berlari membawa diri
Biarkan hari yang bergegas sambil nyanyi
Biarkan aku menunggumu disini;
Sebagai taman yang mencari bunga di bawah purnama
Biarkan peradaban yang angkuh ini runtuh
Biarkan orang menertawakan kristus, kerna setelah kegelapan ini setelah luka dan nestapa
Setelah orang beramai-ramai mengusir kebenaran, membunuh sang buddha, menendang seorang mesiah dari negrinya,
Biarkan aku sebagai puisi yang tinggal dalam taman hatimu
Terlalu mengada-ada, memang
Terlampau utopis tapi kau suka,
Tapi dalam pana aku ingin kekal sebagai kalam yang disabdakan jagat raya,
Dan di taman yang kedinginan, diantara redupnya lampu neon
Disebuah halaman rumah tua, aku mencari tempat pulang.

28 Juli 2008.



September

Selamat ulang tahun ya, maaf
kakakmu hanya berkirim doa
Tak ada kado ulang tahun atau kue
dengan sebatang lilin, tapi suatu ketika
Puisi ini akan sampai padamu
Kamu pasti membacanya dan tersenyum
Mungkin menangis atau sekedar terharu
Inilah hidup adik, penuh siasat dan perangkap
Sesekali musti kompromi kalau tidak bisa
Bilang tidak
Sesekali harus bersekutu kalau tak sanggup
Hidup sendiri dan terasing
Sesekali harus banyak omong tak penting isinya
Sesekali harus menutup mata, menutup telinga
Atau pura-pura tak tahu menahu
Kita hadir di negri keblinger
Kita hidup dalam polusi
Kita ada ditengah masyarakat abnormal
Agama menjadi penting untuk sembunyi
Uang sangat penting buat menyelamatkan diri
Jabatan adalah kehormatan
Dan kekuasaan adalah segalanya untuk mendapatkan tempat dalam hidup ini
Bagaimanakah cara kita bersikap
Menghadapi kemungkinan lain yang tak pasti
Adikku, yang diperlukan adalah fikiran jernih
Cahaya maniloka
Kesungguhan dan kesetiaan pada bumi
Harapan pada semesta
Untuk melanggengkan harmoni
Yang harus dimiliki adalah keahlian dan kemanusiaan
Sekolah hanya bumbu, ijazah hanya pelengkap
Dan ilmu adalah caramu memahami hidup
Tidak adikku, kaulah sendiri bahtera itu, nahkoda yang tahu kemana arah angin itu pergi
Yang mengerti isyarat musim dan cuaca
Yang paham cara menghadapi amuk gelombang
Meskipun sesekali harus terjatuh dan merasa kehilangan harapan dalam kegelapan
Kerna itu membuatmu kuat, kukuh
Sebagai bintang yang sendiri dikeluasan jagat yang sunyi
Selamat ulang tahun ya, suatu ketika puisi ini akan sampai padamu
Kamu pasti membacanya dan tersenyum, mungkin menangis atau sekedar terharu
Anilah hidup adik, penuh perangkap dan siasat penuh intrik dan pengkhianatan
Tapi hidup bukan untuk mengeluh dan mengaduh apa kata WS. Rendra
Hidup adalah kesunyiannya masing-masing, Chairil bilang
Dan dik kita tak pernah lelah menyalakan cahaya agar tak tersesat menuju rumahnya.

12 September 2008


Malam Kesepuluh

Apa yang kau tangisi ’ajami
Dari sepenggal kisah perang, bau kematian
Anyir darah dan perkelahian anak manusia
Menghayati kehidupan ini;
Berulangkali memutar pusaran, menarik garis
Yang lain
Bersitegang mempertahankan harga diri
Berusaha keras merebut kedudukan
Nampaknya kita tak pernah rela berbagi dengan takdir
Menerima kenyataan bahwa tuhan adalah ruang terbuka
Sebuah tempat yang selalu dirindukan
Suatu keadaan yang selalu didambakan
Keingin yang tak pernah mati meraih yang lain
Apa yang kau tangisi ’ajami
Ditengah terik ramadhan dan api siap merebusmu dalam kuwali raksasa
Sementara padanganmu yang gamang, tangan yang terkulai menggapai-gapai
Tak bisa berbuat apa-apa ditengah ratapan
Tak bisa menyalakan cahaya dalam pesta yang rusuh
Tiba-tiba kau terperangkap sunyi lagi, mendapatkan butiran air yang terjatuh, menabuh suara dalam detak jantung
Langit hampir sejengkal dikepala
Pagi yang berkabut
Sayap-sayap itu telah terbang meninggalkan bumi
Wajah cakrawala jagat yang dibentang
Apa yang kau tangisi ’ajami
Selama matahari ada disini
Selama hari terus berlari
Selama waktu masih berdendang
Selama bintang-bintang masih menari
Kerna pohon-pohon terus bertasbih
Kerna gunung-gunung terus berdzikir
Kerna lautan tak pernah lelah berucap
Dikota mana lagi hujan akan singgah
Dinegeri mana lagi mataharti akan terbit
Sementara malam masih kelam dalam sejuta mimpinya
Apa yang kau tangisi ’ajami
Selimut ramadhan ini telah menghangatkan jiwa yang kedinginan
Mendekap ragamu yang lelah dipersimpangan
Ranjang tua, dongeng bocah yang abadi
Waktu seperti terowongan tak berujung
Sebuah harapan merangkaki dindingnya
Demi kuda perang yang berlari terengah, menerobos pagi, memercikan api dan kau membisu dihadapannya
Apa yang kau tangisi ’ajami
Ketika tiba-tiba pagi berdiri dihadapanmu dengan sekuntum bunga kabung ditangannya
Ringkik kuda
Lenguh kerbau
Gelepar daun kehilangan ranting
Hamparan gurun
Sebait puisi yang mengembara mencari pintu sorga
Apa arti sekerat roti bagimu
Apa arti secawan anggur
Semangkuk sayur dimakan malam
Masa muda yang ceria dan menegangkan
Masa tua yang bahagia dan mencemaskan
Masa lajang yang merdeka dan gelisah
Masa rumah tangga yang romantis dan abadi
Tapi apa yang kau tangisi ’ajami
Dibawah jutaan kerlip bintang
Diantara jutaaan milyar ikan yang mengembara
Diantara jutaan sayap kupu yang mengungsi
Diatas panggung yang kosong
Dalam jutaan kata-kata yang ditinggal nyawa
Tapi sebentar aku ingin disini;
Mengalirlah zaitun dalam hidup ini, biar api terus menyala dalam mataku.

September, 2003.





Tamasya

Tunggu sejenak hingga hujan turun, aku mau mandi sebentar
Seharian berkeringat, dibalut bising ibu kota
Menghirup polusi,
Ingin melarikan diri sembunyi dari kepungan rutinitas, tumpukan rencana dan obrolan tak penting,
Biar sebentar merebahkan diri, memanjakan raga, membebaskan jiwa terbang di cakrawala,
Ingin menikmati hujan sebalik jendela
Membiarkan ingatanku beterbangan, mencari sepihan waktu yang pecah dalam kepingan luka, mengiris, sayang!
Setiap orang harus melarikan diri dari bencana hidup dan mengelak dari bahaya takdir,
Tapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi;
Menghadapi perangkap, terjebak macet dan maut selalu berjaga,
Berdiri pada setiap arah mata angin; maut berada diair berada diapi, sembunyi dalam pisau, ada dalam butiran peluru, ikut dalam kereta, berdesakan dalam kapal dan tidur seranjang

Tunggu sebentar hingga hujan turun, aku mau mandi sebentar,
Setelah debu-debu lekat dibadan, mengotori ruhani, menutup cahayamu
Sebentar berendam; membiarkan aroma bunga memahat jiwaku sambil menunggu sarapan pagi
Tapi waktu yang sebentar tak memberi ketenangan, tak sempat sarapan, tak bisa tidur nyenyak musti bergegas berkemas mencari tumpangan sebelum yang menjemput tiba,
Terbentur lagi dinding kamar mandi yang lembab, menemukan tubuh sendiri yang asing, legam terbakar dijalanan,
Bergumul dalam kemungkinan lain, merangkaki terowongan tak berujung,
Dalam bak air aku seperti tumpukan balok es, terus meleleh ingin kembali pada zat semula, diseling suara air dari keran, rambut yang tergerai dibilas shampo eropa,
Yang sebagian patah dan berguguran, helai yang lain dibentang berharap menjadi jembatan menuju Allah,
Dari kamar mandi ini aku melepas pakaian, meninggalkan gaduh dunia, menjadi bayi kembali dan mengirim puisi buat bunda di sorga,
Tapi aku merasa asing dan sendiri di kota ini;
Menyaksikan pertunjukan fashsion, menatap model yang berdiri di catwalk, sedang maut berada disampingnya, menyingkap helai kain,
Menampakan jalan yang dibentang, melayang menuju langit,
Tata kota yang absurd, berantakan disapu catherina, seorang gubernur kehilangan akal dan seorang arsitek tersenyum sambil melipat jam kerja dalam sakunya,
Aku tahu penyair bukan siapa-siapa disini, ia berumah diatas angin
Seorang resi kehidupan, tangannya bergumul lumpur kehidupan,
Suaranya terselip dalam gemuruh buruh pabrik, ditengah masyarakat urban yang berdesakan terhinpit perda wali kota,
Penyair bukan siapa-siapa, hanya penjaga taman dari sehalaman rumah yang terlupakan penghuninya,
Tunggu sebenatar, sayang!
Hingga hujan selesai menuliskan namanya, sebab kitapun harus pulang akhirnya.

Oktober, 2008.

Penyair yang terbunuh dipenghujung subuh

Dikamar yang sempit puisi ini terlahir; ruang pengap tanpa jendela,
berebut nafas dengan ratusan buku yang terhimpit
ditemani musik keroncong aku menyelam di kedalaman sunyi, malam
basah ditumpahi puisi yang kehujanan,
Dikamar yang sering ditinggalkan dan sebentar disinggahi, seperti kamar
hotel yang menjadi milikku,
Aku membisu menghayati lirik kehidupan, terapung dikeluasan
gelombang, hai.. yang membisu dan sendiri? tak kutahu isarat musim,
udara dingin dan rembulan yang sendirian,
Aku yang tinggal bayang melangkah hilang arah, seperti puisi yang berdiri
diberanda dengan tabah menunggumu; menyapa, mempersilahkan masuk
atau mengusirnya, maafkan aku ya..
bila suatu ketika aku tidur dalam kamarmu, kerna dikamarku tak ada lagi
musik keroncong, sebuah laptop atau buah-buahan,
Aku ingin menuliskan namamu dipenghujung subuh yang terakhir.

Oktober, 2008.


Kepada kawan sekenangan

Dimana kini kalian. Yang sempat bersama dalam satu meja, menjadi anak nakal di sekolah,
Ketika guru fisika menerangkan rumus kecepatan cahaya dan hukum percepatan,
Di meja kelas paling belakang kita malah nulis puisi sambil bisik-bisik dan cekikikan,
Aku teringat kalian. Bukannya kita ikut ujian olah raga malah mabal sekolah, menikmati situ bagendit dan terus mencari kebebasan,
Aku terkenang kalian. Yang dimarahi waktu belajar matematika, karena di meja kelas paling belakang kita malah menggambar mobil bus dan menulis surat cinta,
Dimana kini kalian. Yang belajar nakal, memilih nongkrong di kantin dibanding ikut pelajaran bahasa inggris,
Dengan seragam SMA kita pernah bangga meski sama takut pelajaran matematika, memilih ngumpet di perpustakaan dan mencuri buku-buku
sastra, aku tahu kita bukan malas tapi tak berminat pada guru yang galak
Dimana kini kalian. Saat dimensi waktu memisahkan arah, seperti 1000 anak panah yang dilepas bersamaan, kini baru kumengerti rumus
percepatan; kalian sudah sampai dimana? Mengayuh perahu pernikahan dengan anak-anakmu yang lucu, bersiap jadi orang tua yang siap dinakali
anak-anaknya,
Mungkin kalian sudah bermobil, memimpin sebuah perusahaan atau kamu
masih menggambar mimpi-mimpi itu?
Dimana kini kalian. Aku masih disini memahat batu nisan, menggali lubang waktu, berburu kata-kata seperti laba-laba yang menjaring angin
Aku merindukan kalian. Disaat aku ingin jadi remaja lagi, memulas langit degan warnah darah sambil menatap senyum presiden soeharto di layar
televisi. Dimana kini kalian. Ketika aku berdiri di kabin kapal, menatap sepotong senja; Jenggo, Marcos, Samba.. semoga kita bertemu di sorga.

Oktober, 2008.

Oktober

Dipenghujung oktober yang basah waktu terasa semakin meruncing menghujam dari belakang
Sisa hujan meninggalkan jejak petualang yang tak berarti lagi,
Biar segala isarat angin menggugurkan daunan, meniupkan gairah pada bunga, menghembuskan desah O2 yang gelisah
Wajah ini jadi samar dalam riak cuaca, diatas meja dipagi yang murung, dalam hidangan sarapan yang menggoda
Terpaksa harus menahan diri sekedar mencicipi sayur asam, goreng bala-bala atau kerupuk udang
Belajar pada ulat yang berpuasa dalam kepongpong aku juga ingin menjadi kupu,
Terbang di taman sorga mencari apartemenmu, dimana waktu telah musnah dan aku bebas beterbangan tanpa hitungan lagi
Ah rindu teramat manis dan mengiris, sebab sebait puisi lelah juga jadi pelancong,
Ingin melarikan diri dari kebisuan, menikmati pagi, mandi dan tertawa seperti pengusaha,
Minta ktp yang pekerjaannya tertulis penyair, yang dengan maut selalu kompromi dan bersenda, berbagi cerita sepanjang malam atau bersama-sama tamasya seperti saudara kembar, berburu kuliner dan menikmati menu politik di televisi
Dia tertawa renyah dan aku menulis puisi, sambil membalas sms yang salah alamat,
Mungkin akupun salah mengirim setangkai mawar atau sebait rindu yang kau sendiri tak kuasa menolaknya lalu mengirimi aku hujan yang membisu
Ah yang merayu, sempat juga ngirim puisi disaat orang pusing menghadapi tugas, disaat tumpukan pekerjaan tak ada habisnya,
Disaat diatas meja kerja tinggal sepi dan computer sudah dimatikan
Disaat jalanan macet dan orang antri dimana-mana
Disaat pasangan selingkuh berburu kebahagiaan yang lain
Tapi kamu masih disini berkelakar dengan maut, melempar lagi dadu, terus menghitung angka-angka, membuat rencana dan di pasar saham berbagi senyum setelah dolar membumbung tinggi dan maut pun berdiri di lobi bertukar kartu nama
–nanti malam kita bertemu dimana? Seperti bayang-bayang yang tak mau berpisah
Tidak tahu apa yang akan aku ucapkan kalau tiba-tiba kau ada disini;
Selain termangu, diam atau membisu
Selain menyambutmu dengan wajah ramah sambil menutup rapat rasa takut,
Selain pura-pura menampakan wajah bahagia sambil berpelukan penuh suka-cita,
Selain menyembunyikan wajah murung, sambil berlaga tak berdosa atau merasa sebagai sahabat lama yang dipertemukan lagi dalam satu meja, sambil menikmati teh hangat dimusim tropika yang basah, bicara soal gossip selebriti, dolar yang seperti srigala dan jutaan buruh yang terancam phk, diseling pidato presiden yang pura-pura tidak panic dengan memberi harapan manis
Ah apa peduliku pada dunia yang pana ini, derita dan nestapa, suka cita dan bahagia sama saja
Kerna semuanya kembali kepadamu, lantas orang-orang tertawa sambil melempar kartu menghabiskan waktu di meja judi, seperti harimau lapar yang mengintai mangsa,
Aku bukan anak rusa yang lugu tapi kawanan yang tersesat, yang mautpun dengan hati-hati menuntunku kehadapanmu
Mari sebentar disini; aku tengah mengeja ayat-ayatmu yang disabdakan jagat raya
Aku tengah menghayati kidung sucimu yang didendangkan suara hujan,
Aku tengah membacakan mazmur diantara gembala yang terlelap tidur tapi tidak tahu apa yang akan aku ucapkan kalau tiba-tiba kau ada disini; menghampiriku, berbisik seperti suara angin yang menahan rindu, wajahmu yang rembulan menampar wajahku yang alfa, tidak terlalu tergesa sayang, lekas musti berkemas,
Aku masih mau disini; menyusuri rahasia langit, menghayati kalam yang diriwayatkan semesta,
Mungkin dipenghujung oktober yang basah ini kumengerti kesetiaanmu yang tabah menunggu, wahai maut yang sendiri dan kesepian.

Oktober, 2008.



Risalah doa

Hanya untukmu kupersembahkan sujud ini
Nyanyian syukur kuseru kamu dalam doa
Dalam dzikir kusebut namamu dalam diri kupahat dirimu dalam jiwa kau liputi aku
Tapi aku jadi asing disini; seperti anak rantau yang rindu pulang
Semakin jauh pergi aku tak bisa berpaling dari kuasamu
Semakin kudekati engkau, aku tak berarti apa-apa
Tapi tak kudengar lagi suaramu, hanya desah daunan dimalam yang gelisah, kerlip bintang yang jauh dan sisa awan yang tergantung di langit
Padahal air mata ini telah tumpah, menabuh subuh membangunkan kota yang terlelap
Akulah air matamu tuhan, sebuah sajak yang terdampar di bumi, bicara sendirian dan terperangkap dalam pesta kenegaraan, terhimpit tuntutan keadaan,
Hanya kepadamu aku kembali walau tak kutahu dimana kau berada.

Desember, 2008.



dimalam yang lain

berjalan dimalam hari menyusuri jejak hujan
jalanan basah tergenang diantara redup lampu,
udara dingin dan pohonan yang membeku
kemana mencarimu, dipersimpangan mana bisa
bertemu,
ini malam minta selimut, tak ada lagi dongeng
pengantar tidur, tinggal kelepak lelawar dan puisi
yang sendiri kesepian menyusuri jejak hujan,
seperti pesan tak berbalas
seperti berpapasan dijalanan yang berlainan
seperti dua waktu yang berbeda dipertemukan dalam satu meja,
berjalan lagi dimalam hari, membaca isarat angin
menyusuri jejak hujan dalam peta yang terkoyak
kemana lagi harus mencarimu
dipersimpangan mana bisa bertemu, mungkin dimalam yang telah ditinggalkan.

desember, 2008.



Suatu hari esok

Berkawan malam lagi. Sendiri. Langit meleleh. Udara basah. Musim hujan yang sunyi
Jalanan sepi. Aku kedinginan
Hidup yang sebentar ini mau kemana. Dipenghujung mulut kubur menunggu
Berkawan malam lagi. Sendiri. Menyusuri dinding kelamnya
Mengeja kalimat yang putus asa. Menghitung angka yang hangus
Membaca larik puisi yang patah hati
Berdendang syair cinta yang meneteskan air mata
Berkawan malam lagi. Sendiri
Aku ingin bicara denganmu
Aku merindukan suaramu
Aku kehilangan senyummu. Bayangmu senyap diredup rembulan dan maut mengirim surat panggilan
Berkawan malam lagi. Sendiri
Setelah seharian bergumul melewatkan nasib, memahat waktu. Membisu
Disaat aku tak bisa menatap matahari lagi.

Desember, 2008.

Sendiri

Aku ingin keluar dari sini;
Dari ruang pengap penyekapan
Dari kegelapan dari tembok tebal
Yang menghalang pandangku
Aku ingin keluar dari goa
Yang pintunya tertutupi batu besar
Setiap pandangku membentur dinding
Dan tangan ini lunglai
Aku ingin keluar dari lorong tak berujung
Dan aku merangkaki sunyi
Mencari celah cahaya
Aku ingin keluar dari penjara
Dimana jalan ini dibatas waktu
Gerak jiwa dibatasi ruang
Dan aku terperangkap dalam raga
Yang lelah ditelan usia
Aku ingin keluar dari sini;
Dari jeratan sarang laba-laba
Dari himpitan kemacetan
Dari omong kosong yang menjanjikan
Dari setiap beban yang dipikulkan
Dari kegelapan dan ketakutan
Disaat kau menghampiri
Menuntunku ke jalan sunyi
Aku tahu pintu itu telah dibukakan.

Desember, 2008.

Air mata

1
Dipenghujung tahun ini tidak tahu aku akan sampai padamu, dijalanan tak bertuhan aku menyusuri lagi ruang kosong, hanya bayang sendiri membeku ditampar tangan sang takdir;
Kemana angin mencari arah
Kemana air mencari alir
Kemana darah mencari rumah
Kemana nafas yang mengeluh
Kemana cahaya berkelebat
Kemana bayang menghilang
Kemana air mata menggenangi kota
Menenggelamkan hari esok
Mengoyak lambung yang lapar

2
Yang selalu mengetuk pintu waktu
Sebening air jatuh dari akar-akar langit
Menabuh sunyi dan malam sedang pergi

3
Kemanakah air mata itu senyap
Ditengah isak tangis yang kehilangan harapan
Setelah bumi berguncang dan tangan manusia merusak keseimbangan alam
Aku melihat kehidupan ditanah tak bertuhan
Yang memakan bangkai saudaranya
Yang memerah keringat, mereguk darah sesama
Yang terus diburu ketakutan ditengah ancaman kelaparan, musim paceklik dan perebutan kekuasaan demi lahan sejengkal
Melayari lagi samudra air mata
Aku merasa tidak akan sampai padamu
Kemana kini arah yang berlari
Siapa kini yang masih bernyanyi
Siapa kini yang meratap dalam kuil
Yang menangis dikoor gereja
Yang menari dimabuk tuhan
Dipenghujung tahun ini tidak tahu aku akan sampai padamu, darah segar yang mengalir,
Segala doa dan air mata

4
Telah sampaikah doa ini padamu dalam kebisuan waktu, tak kudengar lagi apa jawabmu, selain awan yang menggumpal, suara angin berburu hujan
Kemakah akan berlari mencari langit yang lain disaat pandangan kehilangan arah dan setiap pintu telah terkunci;
Yang mengetuk-ngetuk setiap waktu
Yang meratap dalam doa
Air mata yang tumpah di rumah tuhan
Kaukah itu yang berdendang kidung suci.

Desember, 2008.


Perjamuan kudus

Suatu pagi dimusim hujan
Jarum jam berhenti
Waktu yang merayap melangkah lambat
Yang menunggu semakin gelisah
Diantara hidangan sarapan pagi
Sekerat roti dan helai salad
Sepiring doa dan segelas harapan
Sebait puisi yang menanggung beban
Mereguk sisa dzikir semalaman
Aku tahu kau tidak akan pernah datang lagi
Sejak kamu berkata;
Tetaplah disini jangan pergi
Padahal hari terus berganti
Setiap stasiun telah sunyi
Aku tahu kau tidak akan pernah datang lagi
Tapi telah kusediakan perjamuan kudus ini
Untuk menghiburmu, sebagai penebus kealfaanku disaat kata-kata ini membisu
Tak berdaya ditengah ratapan dan tamparan semesta
Padahal hari terus berganti dan aku menunggu pada tiap perjamuan kudus ini
Wahai sang juru selamat yang terbunuh.

Nopember, 2008.

Perjamuan doa

Dipenghujung tahun ini tak ada lagi yang musti diucapkan
Biar ledakan mercon dan suara terompet menutup layar yang lain
Langit yang bergemuruh pesta
Udara yang disesaki harapan
Jalanan panjang ini mengulurkan tangannya
Digelanggang dimedan perkelahian diruang yang penuh sesak disuguhi lagi anggur, air kelapa, domino, dan omong kosong
Udara subuh dari musim yang berahi
Melepas syahwat yang mendesah didaunan, reguk juga air yang haus
Biar malam ini terus dimabuk wangi kemboja, embun yang sendiri, hujan yang berlari
Pohonan yang menari memuji yang maha suci
Duh malam, rembulan dan kenduri
Aku terkenang senyummu
Aku rindu wangi tubuhmu
Aku mencari kemana jejakmu pergi
Ah mengapa tergesa, sayang!
Bila terlewatkan hidangan yang lezat, buah-buahan yang segar dan perapian
Tak ada lagi yang musti diucapkan,
Hai yang berdekapan dipenghujung subuh, yang berebut selimut dengan maut.

Akhir 2008.

Desember’s remember

Kaulah jalan hidupku. Puisi terpanjang yang memberikan kesunyian, medan ruang yang tak pernah lelah kupahat, kampas tak terbatas yang dibentang minta diwarnai
Ah, desember yang murung. Kudengar sayap maut berkelepak meninggalkan pagi yang menangis
Dikubur mana dibumi siapa aku ziarahi engkau sendiri dalam ingatan yang kabur
Diserambi disuatu ketika aku melukisi tubuhmu dengan warna kelabu
Tsunami mungkin cara tuhan mencintai manusia
Peperangan adalah cara tuhan melatih ketangkasan
Puisi adalah cara tuhan bicara pada sejarah dan kesedihan adalah cara manusia mengerti dirinya
Siapa, siapa yang bisa melupakan penyesalan
Siapa yang bisa membalut luka pengkhianatan,
Siapa yang bisa memupus jejak ingatan
Siapa yang bisa menghentikan waktu
Ah, desember yang sunyi, aku seperti disekap dalam kamar kaca, menatap arah kehidupan dalam gerak yang bisu lalu kudengar petikan gitarmu, seperti suara hujan yang merindukan hari esok
Ada yang menitip puisi pada angin agar aku sampai padamu,
Ada yang melambaikan tangan karena aku tahu jarak ini jauh terbentang,
Ada yang mengucapkan selamat ulang tahun, karena kau tahu maut tengah menunggu
Ada yang ingin mengucapkan cinta padamu tapi senyummu membungkam mulutku,
Ada yang diam-diam menulis cintanya tapi tidak sampai padamu,
Ada yang tak sempat pamit padahal akan pergi selamanya,
Begitu tahun berganti dan sayap-sayap itu terbang jauh meninggalkan pagi yang menangis
Kaulah jalan hidupku. Terowongan tak berujung yang dindingnya dicoreti doa dan harapan
Yang pagi-pagi minta sarapan
Yang malam-malam minta ditidurkan
Yang waktu subuh minta didoakan
Yang waktu liburan mencari hiburan
Ah, desember yang basah; ada puntung cerutu dan sisa kopi dalam gelas
Ada yang berebut selimut dimalam yang dingin
Ada yang gelisah sambil terus menulis, karena tidak tahu cara melarikan diri dari maut, walaupun aku tahu hidup bukan sekedar perjudian.


2008

0 komentar: